Monday, February 6, 2012

Surat Untuk Panda

Dear Panda,
Sudah berapa tahun kita tak bertemu ya?Aku terlelah menghitung waktu.Bukan,bukan karena tak ingin mengingatmu,  justru kehadiranmu serupa rindu menyesap hati,ia selalu hadir menari-nari setiap detik,setiap waktu,setiap hari. Waktu bersiasat dengan sempurna.Mencuri ingatanku. Aku lupa sudah berapa puluh atau bahkan beratus purnama datang dan aku hanya diijinkan menggenggam satu kenangan indah akan dirimu,diriku,diri kita bersama.

Panda,
Kurindu setiap pagi kau membangunkanku,mengendus manja kemudian menggiringku keluar kamar untuk beraktifitas.Ketika kumelangkah keluar rumah tatapan matamupun berubah sendu seolah memohon ke seribu peri untuk mengembalikanku dini.Aku pergi dan kamu menghantar dengan hangat kesetiaanmu yang tak pernah hambar.

Kemudian,ingatkah kamu,aku sering memanjakanmu dengan caraku.Kue kesukaanmu!Aku tak habis pikir bagaimana kamu bisa menyukainya,kue kering kesukaanku ternyata juga menjadi favoritmu.Bertoples-toples kue kering menjadi saksi manisnya hubungan kita.Aku rela tak menggigit kue lagi hanya untuk mencuri perhatianmu.Wajahmu yang lucu seolah berkata “Hei,jangan habiskan kuenya sendiri dong,aku juga mau!” Ugh,kamu menggemaskan.Bagaimana aku bisa berpaling darimu?

Suatu waktu kita pernah berfoto.Aku sampai terkekeh melihatmu yang justru bersemangat ketika berpose.Kupikir kamu ingin gila-gilaan,maka sekalian kupasang kacamata renang yang kemudian menghias wajahmu.Astaga!Kamu diam saja dan malah menikmatinya.Ah,Panda,kamulah matahariku,yang tak jemu-jemu menebar hangat dan membuat hariku selalu berhias senyum,seolah mencipta notasi analfabetis tanda keriaanku.

Tapi,Panda,
Tahukah kamu,sejak hari itu aku tak lagi menebar senyum.Entah apa atau siapa yang merenggut bahagiaku,keriaanku,matahariku.Sekejap kamu tak lagi bisa kupandang.Kamu hilang atau hengkang,kau tak beri kabar,bahkan tak pula tinggalkan jejak.Aku sendu.Kemudian sepi mendekapku sejak nihil kehadiranmu.Meski beribu bulir airmata tertumpah namun tetap kau tak bisa lagi kupegang.Aku kehilangan! Aku kehilangan!

Panda,
Pertanyaan Di mana kamu tak lagi kudengungkan.Aku belajar mengerti meski kamu tak ada.Ikatan batin yang terjalin membuatku tak pernah jauh darimu meski raga tak bisa didapat.Aku tahu kamu juga menyayangiku,mengasihiku karena terbukti lewat kehadiranmu yang kerap melalui mimpiku.Kuyakin,sesungguhnya kamu tak pernah pergi,kamu selalu ada dalam hidupku,meski di mana,wahai Panda,anjingku,matahariku…….

Dari Tuanmu,
Judith

(Saya ikutkan FSC Kompasiana,14 Agustus 2011)

ALEX DAN KRUCIL

Alex sedang berbisik-bisik di pojok ruang tengah,dekat rak buku.Kulihat ia seorang diri di sana namun setelah kuperhatikan ia seperti sedang bercakap-cakap dengan seseorang.Tergerak oleh rasa penasaran,aku bermaksud mendekat dan mengupingnya dari balik lemari hias.
“Krucil,jadi kamu berniat pergi lagi?”
“Kemana? Hahh?NTT? Jauh banget!Pasti kamu punya pacar di sana…” Alex terkekeh.
“Baiklah…kutunggu ceritamu!” Kulihat Alex masih terkekeh sambil melambaikan tangannya.
Hampir copot jantungku.Sedang apakah Alex,keponakanku,barusan?ABG berusia 16 tahun itu terlihat sangat aneh di mataku.Seratus persen aku yakin dan melihat dengan mata kepalaku sendiri bahwa barusan Alex,anak bungsu Mbak Sinta,kakakku satu-satunya itu sedang bercakap-cakap,namun dengan siapa?Tak seorangpun kulihat di sana!
Aku jadi ingat Tria,salah seorang teman kuliahku yang pernah mengajak berbincang dan membahas tentang orang yang mempunyai kemampuan untuk melihat makhluk dari dimensi astral dan hal yang disebut orang dengan astral projection.Tria bilang ada orang yang memang sejak lahir mempunyai kemampuan tersebut,bahkan mereka yang pernah mengalami mati suripun bisa melihatnya.Dicky,pacar Tria malah mengaktifkan chakra ke-6 atau mata batinnya untuk bisa melihat hal yang berbau astral tersebut.
“Sri, jiwa kita sebenarnya bisa melakukan perjalanan sendiri ke tempat lain, terpisah dari tubuh kita,”Ujar Tria saat itu.
What?” Aku yang tak terlalu paham hanya terkejut mendengarnya.
“ Betul. Jiwa kita bisa berkelana Sri dan ini bukan mimpi lho,karena jiwa kita benar-benar pergi atau berada di tempat lain dan bisa melakukan suatu aktivitas di sana,”Lanjutnya.
Aku semakin bingung namun tetap penasaran ingin mendengar penjelasannya.
“Jadi, selama ini kita hanya melakukan perjalanan antar dimensi dari masa kecil hingga sekarang ini. Perjalanan ini akan terus berputar dalam satu siklus,”Ujar Sri.
“Kalau…hantu?”
“Hmm…hantu itu macam-macam lho,makhluk Jin misalnya,ia punya badan Jasmani dan badan Astral juga seperti kita pada dimensi kehidupannya dan antara dimensi kita dengan dimensi Jin, ada tabir gaib pemisah dimensi. Nah,untuk melewati tabir ini diperlukan keahlian khusus,”
“Ah….kamu mengerti tidak semua yang kukatakan tadi?” Tria tersenyum lebar melihat ekspresiku yang mungkin terlihat seperti orang bingung.Aku hanya mengangkat bahu.
“Huh…dasar!” Tria meninju pelan bahuku dan akhirnya kamipun sama-sama tertawa.
***
Bulik ngapain disini ?” * Tak sadar ternyata Alex telah berada tepat di hadapanku.
“Kok Bulik kayak orang bengong sih?”
“Ah nggak,Lex…hmmm….tapi Bulik penasaran.Tadi Bulik lihat kamu sedang bercakap-cakap tapi Bulik nggak melihat siapapun di dekatmu,”
“Oohhh itu tadii…” Alex kembali terkekeh.
“Kok ketawa Lex?Memangnya tadi kamu latihan drama ya?”
“Bukan,tadi itu aku sedang ngobrol dengan Krucil,”
“Krucil?Siapa dia?Mana?”
“Ia temanku yang kadang-kadang suka datang nengok,wujudnya sih seperti anak kecil gitu,aku memberinya nama Krucil,”
Whaaatt??”
“Sabar Bulik,Krucil tidak berbahaya kok,lagian hanya aku yang bisa melihatnya kan,Bulik tak usah khawatir,” “Hmmm…Bulik,itu di belakang Bulik malah ada serombongan binatang aneh,” Ujar Alex sambil menunjuk ke belakangku.
“Bentuknya seperti kelinci tapi bertanduk dan bermata tiga,Bulik,”
*Bulik = Tante (Bahasa Jawa)

Sepatu Barbie Untuk Ani

“Bu,aku ingin sepatu,Buuu…”
“Sepatu?”
“Iya Bu,aku ingin punya sepatu,”
“Sepatu seperti apa itu nak?”
“Warnanya pink dan ada gambar Barbienya,”
“Barbie?”
“Iya Bu, boneka cantik yang gambarnya aku tunjukkan Ibu kemarin,”
“Ohhh….nanti akan Ibu carikan,nak…kamu mau bersabar kan?”
***
“Aniiiii….sini naaakkk….lihat! Ibu dapat sepatu Barbie!”
“Iya Bu! Betul! Ini sepatu Barbie yang kumau Bu!Tapi….ma…mana yang sebelah lagi Bu??”
“Sabar ya nak,nanti Ibu carikan lagi…sementara,simpanlah dulu yang sebelah kiri ini,”
Kulihat Ani mengelus-elus sepatu Barbienya yang (baru) sebelah.Matahari tepat berada di atasku,kulanjutkan pencarianku mengais di Tempat Pembuangan Sampah Bantar Gebang.
(Kompasiana,11 Agustus 2011)

MBAH BOLANG

Matahari mulai meredup saat aku dan Dicto,anak bungsuku meninggalkan candi yang lokasinya tak jauh dari rumah kami.Aku dan Dicto yang baru duduk di kelas 2 SMP sama-sama menggemari fotografi dan kami habiskan waktu dengan hunting foto di candi yang terkenal eksotis itu.Dalam perjalanan menuju rumah yang kami tempuh dengan berjalan kaki itu tiba-tiba Dicto bertanya padaku.
“Ibu,kenapa ia mengikutiku?”
“Siapa,Dict?” Aku menoleh ke segala penjuru dan tak kulihat siapapun.
“Dia,Bu,ada di belakang kita,”
Akupun menoleh ke belakang.Angin berdesir dan menyentuh tengkukku namun lagi-lagi tak kutemukan siapapun.Bulu kudukku berdiri.
“Ma..mana Dict?”
“Ah,sudahlah,Bu,” Dicto memberi isyarat tak ingin melanjutkan percakapan.Dalam perjalanan pulang kami hanya berdiam diri.Sesampai di rumah kami bergegas masuk ke dalam dan kemudian melakukan aktivitas masing-masing.

Diliputi rasa penasaran yang tak kunjung hilang akhirnya aku menemui Dicto yang telah terlihat santai di kamarnya seusai makan malam.
“Dic,sebenarnya apa yang terjadi saat perjalanan pulang dari candi tadi?”
“Oh..itu Bu,”
“Siapa yang mengikuti kita?”
“Macan putih itu Bu.Seekor macan putih mengikuti kita sampai di rumah,”
Bulu kudukku kembali berdiri.Suaraku mulai bergetar.
“Be…benar katamu Dict?Kamu tidak sedang berhalusinasi,kan?”
“Tentu tidak Bu,makanya tadi aku bertanya kepada Ibu,”
“Lalu…sekarang di mana macan putih itu?” Lirih aku bertanya seolah tak ingin terdengar siapapun.
“Tenang Bu,ia takkan mengganggu.Tadi ia berkata ingin menjagaku.Sekarang ia berada di atas genteng,Bu,”Ujar Dicto enteng sambil terus membaca buku yang sedang dipegangnya.
“Oya Bu,aku telah menamainya dengan Mbah Bolang dan aku biarkan ia berada di luar rumah saja ya,biar tidak merepotkan.Toh jika dekat-dekat akan lebih sering menggangguku beraktivitas terutama saat aku harus berdoa dan berkomunikasi dengan Gusti Allah,”
Aku hanya bisa tercengang. Kuterdiam dengan kata-kata yang hanya berlarian ke sana kemari dalam kepalaku.Kemudian membeku.

(Kompasiana,7 Juli 2011)